Amplop Politik dan Kemenangan Prosedural, Fenomena Mengkhawatirkan di Pilkada Sumsel

RIMAUNEWS.CO.ID, Palembang – Diskusi bertema “Hegemoni Herman Deru, Anomali Mawardi Yahya, dan Sensasi Eddy Santana di Pilgub Sumsel 2024” yang digelar Relung Forum, sejumlah narasumber yang hadir menyoroti masifnya praktik politik uang menjelang hari pencoblosan Pilkada Serentak 2024 di Sumatra Selatan (Sumsel).

Pengamat politik Sumsel, Ade Indra Chaniago menyebut, peredaran amplop pada masa tenang sangat masif pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Provinsi Sumsel. Hal ini terlihat dari perubahan signifikan hasil survei sebelum Pilkada dibandingkan dengan hasil hitung cepat (quick count) setelah hari pencoblosan.

“Saya terkejut ketika pasangan calon (paslon) nomor urut 01 mencatatkan kemenangan hingga 73 persen dalam quick count. Di kepala saya, langsung terlintas bahwa setidaknya ada 3,3 juta amplop yang beredar di masyarakat, karena fenomena ini juga ramai diperbincangkan di media sosial,” ungkap Ade Indra di Kawan Ngopi Cafe, Jumat (6/12/2024) malam.

Perkiraan tersebut, menurut Ade, salah satunya bisa didasarkan pada peristiwa penggerebekan gudang logistik partai yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel beberapa waktu lalu.

“Katanya logistik itu untuk ulang tahun partai, tapi mengapa di setiap kantong terdapat logo dan nama paslon? Setelah penggerebekan itu pun, Bawaslu tidak mengambil tindakan tegas,” imbuh Ade.

Masifnya praktik seperti ini, menurutnya, juga disebabkan oleh sikap apatis masyarakat yang tidak peduli terhadap persoalan yang terjadi selama Pilkada. “Banyak masyarakat yang berpura-pura tidak tahu, sehingga praktik ini menjadi mudah dilakukan. Akibatnya, Herman Deru berhasil menciptakan demokrasi berbasis ‘terima kasih’. Dia memberikan amplop, masyarakat memberikan suara,” tambahnya.

Sementara di tempat yang sama, praktisi hukum Mualimin Pardi Dahlan menilai, masyarakat belum memahami bahwa politik uang adalah pelanggaran hukum serius. Bahkan, fenomena ini berubah menjadi perlombaan antar-warga untuk membandingkan isi amplop.

“Bagi masyarakat, ini menjadi ajang kompetisi, di tempat ini amplop berisi Rp50 ribu, di tempat lain Rp100 ribu. Mereka tidak sadar bahwa ini adalah persoalan hukum,” ujarnya.

Menurutnya, peran Bawaslu sangat penting dalam menindak fenomena ini. Jika ditemukan bukti yang cukup, kasus ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang seharusnya berujung pada diskualifikasi pasangan calon terkait.

“Jika benar ada isu sebanyak 3,3 juta amplop yang beredar, ini adalah pelanggaran TSM. Konsekuensinya, kemenangan paslon tersebut harusnya dianulir,” tegasnya.

Bahkan, jika hal itu dapat dibuktikan, maka dia menyebutkan bahwa kemenangan pasangan Herman Deru dan Cik Ujang (HDCU) adalah kemenangan yang bersifat prosedural, bukan berdasarkan visi-misi atau keinginan masyarakat.

“Herman Deru mungkin bisa mengklaim ini kemenangan Sumsel, tetapi pada dasarnya ini hanyalah kemenangan prosedural yang didorong oleh mobilisasi suara, bukan karena gagasan besar,” pungkas Mualimin.

Pengamat politik Bagindo Togar menyoroti, politik uang menunjukkan masih dominannya praktik politik primitif di Pilgub Sumsel. “Praktik ini seperti barter antara paslon dan pemilih. Amplop dan bansos ditukar dengan suara. Ini adalah bentuk kegagalan membangun ekosistem politik modern yang berbasis ide dan gagasan,” ujarnya.

Bagindo pun pesimistis akan adanya perubahan signifikan selama lima tahun ke depan. “Dengan masifnya politik uang, masyarakat tidak bisa berharap banyak untuk perubahan yang lebih baik. Proses yang cacat menghasilkan hasil yang serupa,” tutupnya. (*)