RIMAUNEWS.CO.ID, Palembang – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi anggaran pengadaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang jerat terdakwa Aprizal yang merupakan Tenaga Ahli DPRD Kabupaten Empat Lawang periode 2022-2023.
Dalam sidang Jaksa menghadirkan saksi termasuk Fauzan Khoiri Sekda Empat Lawang, di PN Tipikor Palembang, Kamis (6/11/2025).
Dalam persidangan, majelis hakim menelusuri lebih dalam peran Fauzan dalam pertemuan dengan pihak ketiga yaitu perusahaan pelaksana pengadaan APAR di 147 desa yang kini menyeret mantan tenaga Ahli DPRD terdakwa Aprizal.
Saksi Fauzan dalam keterangannya mengaku, pertemuan dengan pihak ketiga terjadi ketika dirinya baru menjabat sekitar enam bulan.
“Ada tawaran bisnis ini, baru kali ini saya menjabat. Saya kenal setelah bulan Agustus. Saya berani memberikan rekomendasi kepada bupati karena berkas itu bisa dibawa langsung. Tapi saya akui, itu bukan mekanisme kedinasan,” ujar Fauzan di hadapan majelis.
Ia juga menambahkan, dalam praktiknya “disposisi teknis” terkadang dilakukan tanpa melalui penataran terlebih dahulu.
“Bisa saja melanggar, tapi bisa juga diterima, karena memang kebiasaan di pemerintahan seperti itu,” ucapnya.
Ketua Majelis Hakim Pitriadi kemudian mempertanyakan alasan mengapa rekomendasi itu bisa keluar tanpa prosedur resmi. Fauzan menjawab bahwa pengadaan APAR dilakukan atas dasar kebutuhan antisipasi kebakaran hutan di desa-desa.
“Saya percaya dengan dinas teknis yang melakukan kajian. Saat itu mereka menawarkan pengadaan APAR kepada desa, bukan ke Dinas Damkar, makanya Damkar tidak dilibatkan,” kata Fauzan.
Namun, majelis hakim tampak tidak puas dengan jawaban itu.
“Saudara bilang percaya, tapi kenapa tidak dipelajari mekanismenya dulu? Apalagi ini bukan prioritas. Yang prioritas itu kemiskinan di daerah, bukan pengadaan APAR,” tegas hakim Pitriadi dalam sidang.
Majelis juga menduga ada sesuatu yang ditutupi oleh saksi.
“Ada yang saudara tutup-tutupi ya?” tanya hakim.
“Tidak, Yang Mulia,” jawab Fauzan dengan nada tegas.
Dalam momen lain, majelis menyoroti keberanian terdakwa menggunakan nama Sekda untuk melancarkan proyek tersebut.
“Kalau memang benar terdakwa menjual nama saudara, ini berbahaya. Bisa fitnah besar kalau saudara tidak pernah mendukung mereka,” kata hakim.
Menanggapi hal itu, terdakwa Aprizal memberikan keterangan yang sempat mengejutkan ruang sidang.
“Kalau uang fee tidak ada, Yang Mulia, tetapi ada saya berikan uang tanda terima kasih kepada saksi Sekda Fauzan Khoiri,” ujar Terdakwa Aprizal ketika ditanya Majelis Hakim apakah dirinya pernah memberikan uang kepada saksi Sekda Fauzan.
Namun pernyataan itu langsung dibantah tegas oleh saksi Sekda Fauzan Khoiri.
“Tidak ada, Yang Mulia. Tidak pernah saya terima uang,” tegas Fauzan di hadapan majelis hakim.
Majelis pun membuka kemungkinan bahwa Fauzan akan kembali dipanggil untuk memberikan keterangan tambahan pada sidang berikutnya, seiring dengan rencana kehadiran tiga saksi ahli dan saksi a de charge dari pihak penasihat hukum terdakwa.
Sebelumnya dalam surat dakwaan, JPU menyebut bahwa Aprizal diduga menyisipkan program pengadaan APAR ke dalam APBDes 147 desa secara otomatis tanpa melalui musyawarah desa, yang seharusnya menjadi mekanisme utama dalam perencanaan penggunaan dana desa.
“Terdakwa memasukkan paket pengadaan APAR ke dalam APBDes tanpa melalui mekanisme musyawarah desa sebagaimana mestinya,” ungkapnya.
Tak hanya itu, jaksa juga menuding adanya praktik mark-up harga serta laporan pertanggungjawaban fiktif dalam pelaksanaan program. Sebagian besar anggaran, kata jaksa, tidak digunakan untuk membeli APAR, melainkan dialihkan ke pengadaan selang pompa pemadam.
Akibat penyimpangan tersebut, negara disebut mengalami kerugian signifikan karena dana desa tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan, yakni untuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat desa.
“Dana desa yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat, tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya dan menimbulkan kerugian negara,” tegas JPU.
Atas perbuatannya, Aprizal didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. (DN)











