Kasus Muara Enim: Legal Standing dan Bukti Pemohon Dianggap Lemah

RIMAUNEWS.CO.ID, Jakarta – “Saya telah membaca uraian permohonan pemohon, jawaban pemohon, keterangan pihak terkait dan keterangan Bawaslu Muara Enim. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, saya berkeyakinan permohonan Pemohon akan kalah pada sidang putusan dismissal, dan itu berarti paslon Edison-Sumarni akan sah sebagai paslon terpilih dan dilantik,” ujar I Gusti Putu Artha, anggota KPU periode 2007-2012, saat dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (23/1).

Mantan anggota KPU Bali dan KPU Pusat satu periode yang malang melintang sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan argumentasi keyakinannya itu. Pertama, kata dia, kasus ini tak memenuhi syarat ambang batas sesuai Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016. “Selisih pemenang dan pemohon 9.205 atau 3,12 persen, sedangkan syarat ambang batas untuk dapat punya kedudukan hukum di MK adalah satu persen atau 2.948. Dari posisi legal standing saja, permainan sudah selesai. Kedua, masa pengajuan permohonan oleh pihak pemohon sudah melampaui batas waktu pengajuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024. Tiga hari yang dimaksud itu terhitung sejak diucapkan, selama belum melewati jam 24.00 maka hari tersebut dihitung sebagai hari pertama,” katanya.

Memang betul, beberapa kasus yang ditunda penerapan Pasal 158 lalu masuk ke sidang pembuktian. Namun, dalam sidang pendahuluan yang berjalan dua kali ini, pemohon mesti bisa dengan telak membuktikan dalilnya, bukan opini semata. Yang paling parah, kata Putu, permohonan pemungutan suara ulang di empat kecamatan dalam petitum tidak didukung argumentasi hukum dan bukti yang menguatkan bahwa layak empat kecamatan itu dilaksanakan PSU.

“Landasan hukum PSU itu kan ada di Pasal 112 UU Nomor 10 Tahun 2016 dan diturunkan ke PKPU Nomor 17 Tahun 2024 Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Satupun dalil yang disampaikan soal pemenuhan syarat PSU tak tampak. Yang ada pernyataan soal golput, DPT ganda, suara siluman dan sejenisnya yang tak relevan dengan ketentuan regulasi,” ujarnya.

Argumen akan lebih rasional PSU di 4 kecamatan jika pemohon dapat menjelaskan TPS-TPS yang memenuhi syarat UU bahwa layak diulang. Misalnya, kata dia, ada sejumlah TPS yang terdapat lebih dari satu orang yang tak punya hak pilih memilih di TPS itu. “Saya baca dalil pemohon sangat kabur dan tidak jelas argumen pendukungnya untuk meminta PSU,” ujar Putu.

Mengenai pelanggaran yang bersifat kualitatif, menurut Putu Artha, pemohon mendalilkan sejumlah persoalan seperti KPU Muara Enim lalai mencatat kejadian khusus, pelanggaran etik oleh PPK Lawang Kidul, netralitas ASN dan penyelenggara, manipulasi hasil penghitungan suara, DPT ganda dan surat suara siluman serta TPS mencurigakan.

“Semua dalil yang disebutkan pemohon telah dilaporkan ke Bawaslu Muara Enim. Berdasarkan keterangan Bawaslu Muara Enim yang saya baca di website MK, hanya pelanggaran etik PPK Lawang Kidul yang terbukti. Selebihnya tidak terbukti. Dan pelanggaran etik ini tidak mempengaruhi hasil pemungutan suara yang memenangkan H. Edison, SH MH dan Ir. Hj. Sumarni, M.Si. Dengan gambaran masalah kuantitatif, kualitatif, permohonan pemohon, jawaban terkait, keterangan Bawaslu, saya amat yakin perkara Muara Enim akan berhenti di putusan dismissal dan tidak masuk ke sidang pembuktian. Artinya, paslon pemenang tinggal dilantik,” ujarnya mengakhiri obrolan. (*)