Oleh : Dr. Mohammad Syawaludin. MA (DOSEN PASCASARJANA UIN RADEN FATAH PALEMBANG)
Tantangan Baru
Peradaban Islam, dengan segala keagungannya di masa lalu, kini menghadapi tantangan besar di abad ke-21: fragmentasi ilmu pengetahuan. Artikel ini ingin mengheadline ulang peradaban Islam, melainkan mengusung sebuah visi baru: integrasi pengetahuan sebagai fondasi mutlak. Kita akan memulai perjalanan ini dengan mendekonstruksi akar-akar epistemologis yang telah memisahkan “ilmu agama” dari “ilmu umum,” sebuah dikotomi yang sayangnya mengaburkan benih-benih integrasi yang justru sangat kuat dalam pemikiran klasik Islam dan menjadi kunci kemajuan di masa kejayaannya.
Bukan lagi sekadar pendekatan interdisipliner yang seringkali mempertahankan sekat-sekat disiplin, makalah ini mengadvokasi lompatan paradigma menuju model integratif. Ini berarti menyatukan ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan secara utuh, melahirkan perspektif baru yang melampaui batas tradisional. Dari sanalah, kita akan menjelajahi berbagai model integrasi, mulai dari kerangka konseptual hingga implikasinya dalam kurikulum pendidikan dan institusi modern.
Namun, visi ini tidak berhenti pada teori. Fokus utama adalah bagaimana praksis integrasi ini dapat mendorong revitalisasi peradaban Islam melalui produk-produk nyata yang inovatif. Bayangkan lahirnya bioetika Islam yang selaras dengan kemajuan sains, ekonomi syariah yang memanfaatkan teknologi digital secara optimal, desain arsitektur hijau yang berakar pada kearifan lokal Islam, model pendidikan holistik yang membentuk insan seimbang, hingga ekspresi seni dan budaya kontemporer yang kaya makna.
Produk-produk inilah yang akan menjadi solusi konkret bagi isu-isu global. Tentu, jalan menuju integrasi penuh tidak tanpa tantangan, namun peluangnya jauh lebih besar. Pada akhirnya, makalah ini tidak hanya mengusulkan sebuah model kajian, melainkan sebuah jalan untuk menciptakan peradaban Islam yang relevan, dinamis, dan berkontribusi secara signifikan pada kemajuan umat manusia secara holistik melalui ciptaan peradaban yang terintegrasi.
Fragmentasi Peradaban Islam
Peradaban Islam, dengan sejarah ribuan tahun yang gemilang, telah membuktikan dirinya sebagai mercusuar ilmu pengetahuan, seni, dan kemajuan sosial. Dari observatorium di Baghdad yang memetakan bintang, rumah sakit di Kairo yang menjadi pelopor kedokteran modern, hingga universitas di Fez dan Cordoba yang melahirkan sarjana multitalenta, peradaban ini menghasilkan berbagai produk nyata yang membentuk fondasi kemajuan global. Di Nusantara, peradaban Islam menorehkan jejaknya melalui berbagai institusi dan tradisi unik, dengan pesantren sebagai salah satu legasi terpenting. Sejak berabad-abad, pesantren telah menjadi jantung pendidikan, pusat transmisi ilmu, dan inkubator moral yang membentuk karakter dan identitas masyarakat Muslim Indonesia.
Namun, di abad ke-21, peradaban Islam, termasuk di Nusantara, dihadapkan pada paradoks: meskipun secara demografis umat Muslim merupakan seperempat populasi dunia (Pew Research Center, 2023), dan Indonesia sendiri memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, kontribusi mereka dalam inovasi ilmiah dan teknologi global, khususnya dalam ranah yang terintegrasi, belum sepenuhnya merefleksikan potensi historis dan spiritual yang dimiliki. Fragmentasi ilmu pengetahuan, yang sering memisahkan secara tajam antara “ilmu agama” (′ulumal−diniyah) dan “ilmu umum” (′ulumal−′aqliyah), menjadi salah satu kendala utama. Dikotomi ini telah mengaburkan visi holistik Islam tentang ilmu, di mana semua pengetahuan dipandang berasal dari satu sumber ilahi dan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Konsekuensinya, upaya kajian peradaban Islam seringkali terjebak pada pendekatan parsial, gagal menangkap kompleksitas dan dinamika peradaban secara utuh. Meskipun demikian, benih-benih kebangkitan dan upaya integrasi mulai terlihat.
Produk Kekinian Peradaban Islam
Di berbagai belahan dunia Islam, termasuk di Nusantara, terjadi geliat inovasi yang menunjukkan potensi besar ketika prinsip-prinsip Islam berdialog dengan kemajuan modern. Pesantren, sebagai warisan yang terus hidup, kini bertransformasi menjadi laboratorium inovasi. Banyak pesantren yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengembangkan program vokasi seperti pertanian modern, teknologi informasi, hingga kewirausahaan berbasis syariah. Ini merupakan bentuk integrasi praksis yang melahirkan produk-produk konkrit.
Selain itu, dalam ekonomi syariah, kini menjadi industri global bernilai triliunan dolar yang terus berkembang pesat, dengan produk-produk inovatif seperti sukuk hijau, fintech syariah, dan perbankan digital Islam yang menjangkau jutaan nasabah (Islamic Economy Report, Dinar Standard, 2023). Di Indonesia, produk halal menjadi kekuatan ekonomi baru, tidak hanya terbatas pada makanan dan minuman, tetapi juga fashion Muslim, pariwisata halal, dan kosmetik halal. Dalam ranah ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul inisiatif seperti bioetika Islam yang memberikan panduan etis terhadap isu-isu kompleks seperti rekayasa genetika dan kecerdasan buatan, atau pengembangan sistem pangan berkelanjutan.
Di bidang pendidikan, beberapa universitas Islam mulai merintis kurikulum terintegrasi yang menggabungkan ilmu-ilmu keislaman dengan sains modern, seperti International Islamic University Malaysia (IIUM) atau Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences. Bahkan dalam arsitektur dan urbanisme, kita melihat upaya melahirkan kembali konsep kota Islami yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, seperti proyek-proyek kota pintar di Timur Tengah yang mengintegrasikan nilai-nilai tradisi dengan teknologi mutakhir.
Produk-produk kekinian ini, baik yang berakar pada transformasi pesantren maupun inovasi lainnya, adalah bukti nyata bahwa ketika dimensi spiritual, etika, dan material bersatu dalam bingkai pengetahuan, peradaban Islam memiliki kapasitas untuk kembali menjadi sumber inovasi yang relevan. Oleh karena itu, makalah ini berargumen bahwa integrasi pengetahuan bukan sekadar pendekatan interdisipliner, melainkan sebuah fondasi epistemologis baru yang esensial. Ini adalah kunci untuk memahami secara komprehensif, menganalisis secara mendalam, dan mengembangkan secara berkelanjutan peradaban Islam di abad ke-21, serta melahirkan kembali produk-produk peradaban yang berdaya guna bagi seluruh umat manusia.
Perkembangan Metodologi Kajian
Perjalanan kajian peradaban Islam tidaklah statis, melainkan mengalami pergeseran metodologis signifikan seiring dengan perubahan zaman dan paradigma keilmuan global. Memahami evolusi metodologi ini penting untuk mengapresiasi mengapa pendekatan integratif menjadi sebuah keniscayaan di masa kini.
Pada periode klasik hingga pertengahan, kajian peradaban Islam didominasi oleh pendekatan yang sangat tektual dan normatif. Fokus utama adalah pada analisis dan interpretasi sumbersumber primer keislaman: Al-Qur’an, Hadis, Fiqh, dan karya-karya ulama klasik.
• Pendekatan Filologis dan Hermeneutis Awal: Para ulama besar seperti Imam Bukhari dalam Hadis, Imam Syafi’i dalam Fiqh, atau Al-Tabari dalam Tafsir, mengembangkan metodologi yang sangat ketat untuk memahami teks. Ini melibatkan ilmu bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah), ilmu riwayat (sanad, matan), dan kaidahkaidah istinbath hukum. Kajian lebih bersifat internal disipliner, di mana setiap ilmu (misalnya ilmu kalam, tasawuf, fiqh) memiliki kaidah dan metodenya sendiri yang kadang kurang berdialog.
• Historiografi Tradisional: Penulisan sejarah lebih banyak berpusat pada kronologi peristiwa, biografi tokoh, dan dinasti, seperti yang terlihat pada karya Al-Tabari atau Ibn Khaldun (meskipun Ibn Khaldun mulai merintis pendekatan sosiologis, ia tetap dalam kerangka umum ini). Analisis mendalam terhadap struktur sosial-ekonomi atau pengaruh eksternal seringkali kurang menjadi fokus utama.
• Keterbatasan Epistemologis: Meskipun sangat kaya dalam kedalaman teks dan normativitas agama, pendekatan ini cenderung kurang membuka diri terhadap perspektif ilmu-ilmu sosial modern, sains, atau filsafat Barat. Hal ini secara tidak langsung menciptakan dikotomi yang kian mengental antara ilmu agama dan ilmu umum.
Abad ke-19 dan ke-20 membawa gelombang modernitas dan kolonialisme yang memicu perubahan dalam kajian Islam. Dunia Barat, melalui disiplin Orientalisme, mulai mengkaji peradaban Islam dengan metodologi ilmu sosial dan humaniora Barat, meskipun seringkali dengan bias tertentu.
• Pengaruh Orientalisme: Kajian Islam dari Barat memperkenalkan metode filologi kritis, sejarah komparatif, dan sosiologi agama. Ini mendorong sarjana Muslim untuk merespons dan mengadaptasi beberapa alat metodologis ini untuk mengkaji warisan mereka sendiri. Namun, seringkali terjadi gulf antara metodologi Barat yang sekuler dan pendekatan Islam yang masih berakar pada teks suci.
• Munculnya Pemikiran Pembaharuan (Tajdid): Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, hingga Fazlur Rahman, mulai mencoba menjembatani kesenjangan antara tradisi dan modernitas. Mereka menggunakan hermeneutika baru untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah agar relevan dengan tantangan kontemporer, yang secara implisit mendorong interdisipliner dengan ilmu-ilmu sosial dan politik.
• Pendekatan Interdisipliner Awal: Di pertengahan hingga akhir abad ke-20, semakin banyak cendekiawan Muslim dan Barat yang menyadari bahwa studi peradaban Islam tidak bisa hanya mengandalkan satu disiplin. Pendekatan sosiologi Islam, antropologi Islam, ekonomi Islam, dan filsafat Islam mulai berkembang. Namun, interdisipliner pada tahap ini seringkali masih berarti “meminjam” alat dari disiplin lain tanpa upaya sintesis yang mendalam. Misalnya, menerapkan teori sosiologi Barat untuk menganalisis masyarakat Muslim, tetapi jarang mencoba mengembangkan teori sosiologi yang berakar dari pandangan dunia Islam itu sendiri. Batas-batas disiplin masih cukup jelas.
Di penghujung abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, kesadaran akan keterbatasan pendekatan interdisipliner yang parsial semakin menguat. Isu-isu global yang kompleks seperti krisis lingkungan, etika bioteknologi, konflik identitas, dan tantangan digitalisasi menuntut sebuah metodologi yang lebih holistik dan terintegrasi.
• Kritik terhadap Interdisipliner Parsial: Disadari bahwa sekadar “menggabungkan” beberapa disiplin tidak cukup. Seringkali, hasil kajian interdisipliner tetap terpecahpecah dan gagal memberikan solusi yang koheren. Muncul kebutuhan untuk melampaui “batas-batas” disiplin dan mencari “kesatuan” di balik keragaman ilmu.
• Dorongan untuk Integrasi Epistemologis: Cendekiawan seperti Ismail Raji al-Faruqi dengan konsep Islamisasi Pengetahuan, Syed Muhammad Naquib al-Attas dengan konsep Islamisasi Ilmu Kontemporer, hingga Amin Abdullah dengan jaring laba-laba keilmuannya (integrasi-interkoneksi), mulai secara eksplisit menyerukan dan merumuskan model-model integrasi ilmu. Mereka berpendapat bahwa ilmu tidak boleh terpisah dari nilai-nilai spiritual dan etika Islam.
• Pengembangan Metodologi Integratif: Ini bukan hanya tentang memadukan ilmu agama dan umum, tetapi juga merumuskan kembali epistemologi, ontologi, dan aksiologi ilmu dari perspektif Islam. Hal ini berarti mengembangkan alat-alat penelitian baru yang mampu membaca fenomena peradaban dari berbagai lapisan: tekstual, historis, sosiologis, saintifik, dan filosofis, sekaligus menjahitnya dalam kerangka tauhid dan moralitas Islam. Contohnya, menggunakan Big Data untuk menganalisis manuskrip klasik, atau menerapkan neurosains untuk memahami dimensi spiritual praktik keagamaan, yang kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip syariah.
• Relevansi Praktis: Pergeseran ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga memiliki implikasi praksis yang mendalam. Sebuah peradaban yang terintegrasi akan lebih mampu menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan yang tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga adil secara sosial dan bertanggung jawab secara etis.
Dengan demikian, pergeseran metodologi dalam kajian peradaban Islam adalah sebuah evolusi alami yang didorong oleh kebutuhan internal dan tantangan eksternal. Dari dominasi tekstualnormatif, bergerak ke interdisipliner yang mencoba berdialog, hingga kini menuju integrasi pengetahuan yang diharapkan dapat merevitalisasi kembali kontribusi peradaban Islam secara holistik di panggung global.