Skandal Fee Proyek Pokir DPRD OKU: Kesaksian Empat Terdakwa Ungkap Pertemuan Rahasia, Alur Uang, dan Peran Pejabat Daerah

RIMAUNEWS.CO.ID, Palembang – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi fee proyek pokok pikiran (Pokir) DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) semakin memanas. Empat terdakwa, yakni Nopriansyah, Umi Hartati, Ferlan Juliansyah, dan M. Fahruddin, secara blak-blakan membeberkan alur uang serta pembagian jatah kepada seluruh anggota DPRD.

Sidang berlangsung di Pengadilan Tipikor Palembang, yang digelar di Museum Tekstil Palembang, Kamis (30/10/2025).

Terdakwa Umi Hartati, yang disebut Jaksa KPK hadir dalam pertemuan penting, mengaku awalnya tidak mengetahui detail pembicaraan soal fee proyek. Namun, ia membenarkan adanya kesepakatan terkait dana aspirasi atau Pokir.

“Saya tidak tahu kalau ada pembicaraan detail soal fee. Tapi yang saya dengar, uang Pokir dipercayakan ke Pak Nop (Nopriansyah). Saya tidak tahu soal komitmen siapa yang pegang dana,” ujar Umi menjawab pertanyaan jaksa.

Umi juga menepis anggapan bahwa uang fee tersebut diberikan sebagai Tunjangan Hari Raya (THR). Menurutnya, dana itu digunakan untuk mendukung kegiatan proyek.

“Saat itu saya tidak fokus ke uangnya, tapi ke kegiatan proyeknya,” katanya.
Lebih lanjut, Umi membenarkan adanya sejumlah pertemuan dengan pihak eksekutif sebelum pengesahan APBD. Pada pertemuan ketiga, kata dia, Pj Bupati OKU saat itu, M. Iqbal Alisyahbana, memberi lampu hijau terkait dana Pokir.

“Pertemuan pertama kami bertanya soal dana aspirasi. Pertemuan kedua kami menanyakan apakah sudah ada jawaban, lalu di pertemuan ketiga disetujui. Pak Iqbal bilang, selanjutnya koordinasi dengan Pak Nop,” tuturnya.

Sementara itu, terdakwa Ferlan Juliansyah mengakui adanya pembagian uang dalam kelompok BERTAJI yang terdiri dari dirinya, Fahruddin, Umi Hartati, Robi Vitergo, dan Parwanto.

“Eksekusinya memang betul, kalau uang sudah terkumpul oleh Pak Nop, untuk kubu BERTAJI dibagikan ke lima orang itu. Saya sendiri membagikan ke anggota saya di PDIP, selain itu tidak ada lagi,” ujar Ferlan.

Jaksa KPK kemudian menyinggung peran Bupati OKU Teddy Meilwansyah, sebagaimana tercantum dalam BAP Ferlan, yang disebut ikut mempercepat pencairan uang muka proyek.

“Seingat saya, peran Pak Teddy saat saya diminta tolong oleh Pak Nop soal pencairan uang muka. Saat saya ke kantor BKAD, Pak Setiawan sedang kegiatan di Pemkab bersama Pak Teddy,” ungkapnya.

Ferlan juga menambahkan, ide awal terkait fee Pokir berasal dari Nopriansyah.

“Yang punya ide awal itu Pak Nop. Kalau soal fee, tidak dibahas secara langsung, tapi wacana pemberian uang memang ada. Masalah persentase, Pak Nop yang lebih paham,” jelasnya.

Terdakwa M. Fahruddin menjadi yang paling detail dalam menjelaskan nominal dan lokasi pertemuan. Ia mengonfirmasi adanya empat kali rapat dengan pihak eksekutif hingga nilai Pokir disetujui.

“Pertemuan empat kali. Yang pertama saya tidak ikut, yang kedua baru ikut. Lokasinya di Rumah Dinas Bupati. Dari pihak eksekutif ada Pak Iqbal, Pak Setiawan, dan Pak Alal,” kata Fahruddin.
Dalam sidang juga terungkap adanya rencana pembagian uang di antara sejumlah anggota DPRD OKU. Jaksa KPK menghadirkan terdakwa Fakhrudin, yang mengonfirmasi adanya catatan pembagian dana.

Jaksa menunjukkan catatan kopelan yang ditemukan dari Parwanto, berisi lima nama anggota DPRD beserta nominal uang yang diterima: Parwanto, Umi Hartati, M. Fahruddin, Roby, dan Ferlan.

“Ini kami dapat dari Pak Parwanto, kalau tidak salah juga dari Pak Iqbal. Yang tahu itu Pak Rudi dan Bu Umi.

Penyampaiannya di restoran Megaria, sekitar Desember 2024. Pak Iqbal bilang Rp 44 miliar ini khusus untuk kubu BERTAJI, jatah kubu YPN diambil dari sini juga,” ujar Fakhrudin saat menjawab pertanyaan jaksa.

Nilai proyek Pokir dan aspirasi tersebut kemudian digenapkan dari Rp 44 miliar menjadi Rp 45 miliar.

“Nilai Rp 44 miliar itu hasil rembukan dengan Ketua Fraksi, lalu setelah beberapa usulan total aspirasi digenapkan menjadi Rp 45 miliar,” kata Fahruddin.

Ia juga menuturkan, Kepala BKAD Setiawan sempat diminta Pj Bupati Iqbal untuk menurunkan nilai proyek karena alasan efisiensi anggaran.

“Itu terjadi saat malam perpisahan dengan Pak Iqbal sebelum beliau selesai menjabat. Pak Setiawan diutus agar nilai Rp 45 miliar diturunkan menjadi Rp 35 miliar karena alasan efisiensi,” tutup Fahruddin. (DN)