RIMAUNEWS, PALEMBANG – Pegawai pemasyarakatan secara konvensional dikenal sebagai petugas dengan disiplin kerja yang baik dalam menjalankan profesinya (Matetoa, 2012).
Lembaga pemasyarakatan dibangun dengan tujuan mewadahi pemberian hukuman kepada sejumlah narapidana yang telah terbukti melakukan pelanggaran secara hukum. Adapun peran pegawai pemasyarakatan ialah mengayomi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang biasa atau juga disebut narapidana.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan Pasal 4 Ayat (2) huruf c, tercantum bahwa petugas pemasyarakat berkewajiban untuk membina dan merawat WBP dengan memperhatikan asas-asas pengayoman, persamaan perlakuan, pelayanan, pendidikan dan bimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, menjamin hak tahanan untuk tetap berkomunikasi dengan keluarganya, serta hak lainnya yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Peran utama pegawai pemasyarakatan dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah untuk menjaga keamanan dengan memantau dan menjaga narapidana. Peran ini, bagaimanapun merupakan multidimensi, mencakup lebih dari mengelola narapidana. Pegawai pemasyarakatan harus menyelesaikan tugas-tugas kustodian harian (misalnya, sel penjaga blok), bantuan dalam pemrograman pelaku, dan bekerja dengan populasi khusus (misalnya, mental) narapidana sakit, narapidana narkoba, narapidana lanjut usia/kelompok rentan). Bertemu tanggung jawab pekerjaan yang beragam ini, petugas pemasyarakatan harus dilengkapi dengan spektrum keterampilan. Misalnya, mereka harus bisa bekerja dengan orang-orang berasal dari budaya dan latar belakang etnis yang berbeda, memimpin dan mengawasi orang lain, dan membuat keputusan cepat dalam lingkungan yang penuh tekanan.
Sebagai pendahuluan untuk penilaian pelatihan nasional, bagian ini akan menjelaskan berbagai tugas dan tanggung jawab yang terdiri dari: peran pegawai pemasyarakatan. Peran ini dapat dikategorikan menjadi empat fungsi utama: (1) pengelolaan narapidana, (2) bagaimana petugas menjaga keamanan dan keselamatan, (3) membantu rehabilitasi pelaku, dan (4) pengelolaan populasi khusus di lembaga pemasyarakatan Burton, 2018
mereka yang berusaha mengatasi penyalahgunaan di institusi umumnya dan Lapas pada khususnya.
Terdapat begitu banyak aktivitas tersembunyi dan begitu juga dampak menjadi korban. Misalnya, beberapa bahaya disebabkan oleh staf lembaga pemasyarakatan yang bertindak dengan cara yang korup kurang nyata daripada murni konsekuensi ekonomi termasuk kegiatan seperti memasok obat-obatan ke narapidana, menutup mata terhadap kekerasan atau intimidasi, membuat kebohongan laporan tentang insiden, atau eksploitasi seksual atau emosional.
Para penulis diskusikan ini dan konsekuensi lainnya serta efek sampingnya yang meliputi: menempatkan staf dan tahanan dalam bahaya, serta melayani untuk merusak keadilan dan keadilan bagi mereka yang sangat rentan dan seringkali tanpa akses mudah ke rute untuk didengarkan (Goldsmith., et al, 2016).
Idealnya lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat pembinaan para narapiana supaya dapat kembali ke lingkungan masyarakat tanpa mengulangi pelanggaran yang telah diperbuat sebelumnya. Hal tersebut akan terwujud apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, namun tujuan pemasyarkatan nyatanya sulit dicapai karena berbagai tindakan kecurangan yang mengurangi efisiensi peralihan tujuan pemasyarakatan.
Kecurangan yang dimaksud ialah praktik suap yang kerap terjadi antara pegawai pemasyarakatan dan narapidana sehingga banyak pelanggaran yang terjadi, seperti terjadinya penyelundupan barang ke lembaga pemasyarakatan, transaksi sarana prasarana khusus, bahkan melakukan berbagai jenis kriminalitas di dalam lembaga pemasyarakatan. Satu kejahatan yang dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan adalah kejahatan narkotika. Seseorang yang dihukum di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang mengendalikan peredaran narkoba cukup dengan selular/telepon yang diselundupkan ke dalam sel/penjara.
Center Advancement Public Integrity (2016) menyebutkan bahwa korupsi di lembaga pemasyarakatan menyebabkan masalah yang jauh lebih dari sekadar ketidakjujuran dari pihak petugas. Pertama, petugas koreksi, serta narapidana lain, sering terluka karena diselundupkan senjata. Korupsi sistemik dengan demikian menciptakan lingkungan yang keras dan berbahaya di dalam lembaga pemasyarakatan yang mempengaruhi setiap pegawai pemasyarakatan.
Contohnya adalah saat pejabat administrasi Kota New York mengaitkan meningkatnya kekerasan di lembaga pemasyarakatan Pulau Rikers dengan aktivitas geng serta peningkatan jumlah pisau selundupan di dalam dinding penjara.
Seluruh pegawai pemasyarakatan memiliki kewajiban yang sangat besar terhadap pengayoman WBP/narapidana.
Pengayoman ini berlanjut kepada kewajiban untuk melakukan aksi pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan yang melibatkan WBP dan pegawai/petugas pemasyarakatan. Berkenaan dengan hal tersebut, peningkatan kesadaran dan penanaman prinsip terhadap para pegawai pemasyarakatan sangatlah penting dilakukan, mengingat banyaknya pegawai pemasayarakatan yang belum mampu turut mewujudkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.(Rill)